Kalau kamu pikir dunia AI itu cuma soal chatbot pintar, robot bersuara Siri, atau program yang jago bikin kode, kamu belum kenalan sama Linda Dounia Rebeiz! Wanita keren asal Senegal ini nggak cuma bikin karya visual yang memanjakan mata, tapi juga ngajak kita mikir lebih dalam soal bias, memori kolektif, dan keadilan digital. Siap-siap takjub dan berpikir ulang soal “netralitas” teknologi ya! 🎯🧠
🌱 Awal Mula & Latar Belakang Multikultural
Linda lahir di Senegal dan punya darah campuran Lebanon. Sebagai anak benua Afrika, ia tumbuh di tengah budaya yang kaya warna, tradisi, dan… tentu saja, tantangan! 😅
Dia belajar desain, seni, dan teknologi secara autodidak dan akademik. Tapi jangan bayangin dia “anak coding” yang dingin dan teknis banget—Linda adalah seniman, penulis, dan juga kurator. Perpaduan otak kiri dan kanan banget deh! 🤓🎨
🎨 AI + Seni: Ketika Mesin Bicara tentang Ingatan
Salah satu karya terkenalnya adalah “Once Upon a Garden”, di mana Linda menggunakan teknologi AI bernama GAN (Generative Adversarial Networks) untuk “menghidupkan kembali” bunga-bunga dari wilayah Sahel, Afrika Barat—bunga yang sekarang udah langka atau bahkan punah. 🌺🥀
Bukan cuma estetik, karya ini juga nyentuh banget secara emosional. Ia seperti ngajak kita masuk ke mesin waktu visual yang menggambarkan flora yang cuma bisa diingat dari cerita nenek moyang, bukan dari foto. Jadi kayak nostalgia tapi… versi digital. 😢✨
⚠️ Kritik Keras pada Bias AI
Linda nggak tinggal diam soal masalah yang sering nggak disadari banyak orang: bias dalam dataset AI. Misalnya, ketika dia pakai DALL-E untuk membuat gambar kota asalnya, Dakar, hasilnya selalu kumuh, gelap, dan miskin.
Padahal kenyataannya? Dakar itu penuh warna, dinamis, dan punya budaya yang super kaya! Dari situ dia sadar, AI selama ini belajar dari data yang sudah terpolusi bias Barat. Nah lho! 😨
Jadi, alih-alih hanya protes, Linda langsung bikin dataset sendiri—mengumpulkan foto, arsip, dan referensi lokal buat ngajarin AI tentang dunia yang lebih adil dan beragam. ✊🏾📸
🖼️ Proyek dan Pameran Berkelas Dunia
Linda udah tampil di berbagai panggung internasional, dari Art Basel, Christie’s, sampai MoMA. Tapi bukan cuma tampil, dia juga mengkurasi pameran digital seperti “IN/Visible” yang melibatkan seniman kulit hitam dari seluruh dunia, membahas representasi wajah dan tubuh di teknologi AI.
Buat Linda, AI adalah alat untuk membebaskan, bukan menindas. Dia ingin orang kulit berwarna, budaya Global South, dan komunitas terpinggirkan juga ikut menentukan arah masa depan teknologi. 💪🌍
🧠 Filosofi Unik: AI Bukan Netral, Tapi Bisa Diperjuangkan
Linda percaya bahwa teknologi bukanlah sesuatu yang “netral”. Ia selalu lahir dari tangan manusia—dan manusia itu punya nilai, prasangka, dan ideologi. Nah, lewat karya-karyanya, Linda ingin meretas bias-bias itu. ✂️🧵
Menurutnya, kalau AI cuma dilatih dengan data dari Barat, maka dunia yang dibayangkannya juga bakal “Barat banget”—sementara cerita-cerita lokal seperti dari Senegal, Surabaya, atau Sorong bakal terhapus dari peta digital. 😟
💬 Gaya & Karakter: Bukan Cuma Jenius, Tapi Puitis
Linda punya gaya yang unik. Karyanya sering campuran antara puisi, lukisan digital, suara, dan video. Bahkan kadang dia menyisipkan catatan harian atau narasi pribadi yang bikin AI terasa sangat… manusiawi.
Dia juga suka membayangkan masa depan lewat lensa spekulatif—seperti solarpunk atau dunia utopis yang justru dibangun dari puing-puing ketidakadilan sekarang. Kayak mikir, “Kalau dunia ambruk hari ini, gimana kalau AI kita pakai buat membangun dunia yang lebih adil dan hangat besok?” 🔮🌞
🏆 Prestasi Bikin Nganga
- Masuk daftar TIME100 AI sebagai tokoh paling berpengaruh.
- Karyanya dipamerkan di galeri dan pameran elit dunia.
- Menang berbagai penghargaan dari organisasi seni dan teknologi.
- Diundang jadi pembicara soal AI, seni, dan dekolonisasi data.
🎉 Fun Facts Biar Nggak Tegang
- Suka banget bunga—bahkan GAN-nya banyak “melukis” bunga-bunga langka.
- Punya cita rasa seni yang nyampur banget: dari puisi Arab sampai glitch art digital.
- Sering bilang AI itu “alat yang harus diajarin kayak anak kecil”—supaya ngerti nilai-nilai manusia. 🧒🤖
🎯 Kesimpulan: AI Bisa Lembut Kalau Diajarin Sama yang Lembut
Linda Dounia Rebeiz bukan teknolog biasa. Dia seniman yang ngajarin AI buat punya empati, imajinasi, dan kesadaran sejarah. Lewat karya-karyanya, dia membuktikan bahwa mesin pun bisa “merasa”—asal manusia yang ngajarinya juga punya hati.
Kalau kamu percaya bahwa teknologi harus memperjuangkan keadilan dan mewakili semua orang, bukan cuma segelintir, maka Linda adalah sosok panutan yang layak banget diikuti. 🌱💻
Sering merasa overwhelmed dengan berita AI yang terlalu banyak? I hear you. Subscribe ke Artifisial Newsletter dan dapatkan informasi teknologi AI terkini agar kamu tetap up-to-date tanpa buang waktu.