Dalam dunia kecerdasan buatan (AI) yang terus berkembang dengan kecepatan luar biasa, muncul sosok yang berani bertanya: “Apakah teknologi ini adil untuk semua orang?” Sosok itu adalah Timnit Gebru, seorang peneliti AI, aktivis, dan pelopor etika AI yang dikenal karena keberaniannya mengkritik sistem dari dalam.
Dari pengungsi asal Ethiopia hingga pendiri lembaga riset independen, perjalanan Timnit penuh perjuangan dan makna. Ia adalah suara penting di tengah gemuruh AI yang sering kali lebih memprioritaskan performa dibanding keadilan.
Dari Addis Ababa ke Silicon Valley
Timnit lahir di Addis Ababa, Ethiopia, dari keluarga Eritrea. Kehidupan masa kecilnya tak mudah—ayahnya wafat saat ia masih kecil, dan di usia 15 tahun ia pindah ke Amerika Serikat sebagai pengungsi, setelah sempat tinggal di Irlandia.
Di AS, ia mengalami berbagai bentuk diskriminasi, tetapi justru itulah yang memperkuat tekadnya. Timnit melanjutkan pendidikan tinggi di Stanford University, meraih gelar sarjana, master, hingga PhD di bidang teknik elektro. Disertasinya mengeksplorasi bagaimana teknologi computer vision bisa mencerminkan ketimpangan sosial.
Meniti Karier di Dunia AI
Setelah menyelesaikan studi, Timnit sempat bekerja sebagai engineer di Apple, lalu melanjutkan karier risetnya di Microsoft Research, di lab FATE (Fairness, Accountability, Transparency, and Ethics). Di sana, ia mulai mendalami lebih jauh soal bias algoritma dan dampak sosial AI, khususnya pada kelompok yang terpinggirkan.
Tahun 2017, Timnit ikut mendirikan Black in AI, komunitas global yang bertujuan meningkatkan representasi orang kulit hitam dalam riset dan industri AI. Komunitas ini kini menjadi gerakan penting dalam mendorong keberagaman di bidang teknologi.
Google, Kontroversi, dan Suara Kritis
Pada 2018, Timnit bergabung dengan Google sebagai co-lead tim Ethical AI, bersama Margaret Mitchell. Di sini, ia mendorong praktik AI yang lebih adil, inklusif, dan transparan. Salah satu karya terkenalnya adalah bersama Joy Buolamwini, yang menunjukkan bahwa sistem pengenalan wajah cenderung bias terhadap orang berkulit gelap dan perempuan.
Tapi kariernya di Google berakhir dengan kontroversi besar. Pada 2020, ia menulis makalah ilmiah berjudul “On the Dangers of Stochastic Parrots”, yang mengkritik model AI berukuran besar seperti GPT karena bisa menyebarkan bias, berdampak negatif pada lingkungan, dan kurang transparan.
Google meminta Timnit menarik makalahnya—ia menolak. Tak lama kemudian, ia “dipaksa keluar” dari perusahaan. Pemecatan ini memicu kemarahan luas dan menjadi momen penting dalam perdebatan tentang etika AI dan kekuasaan Big Tech.
Mendirikan DAIR: AI dari Komunitas untuk Komunitas
Setelah keluar dari Google, Timnit tidak diam. Ia justru mendirikan DAIR (Distributed AI Research Institute)—lembaga riset independen yang memprioritaskan masyarakat termarjinalkan dan bebas dari pengaruh perusahaan besar.
DAIR bukan sekadar pusat riset biasa. Mereka mengembangkan AI dari perspektif komunitas, dengan pendekatan kolaboratif dan etis. Mereka juga mengangkat wacana penting soal TESCREAL—sebuah akronim untuk ideologi dominan di kalangan elit teknologi seperti transhumanisme dan longtermism, yang menurut Timnit bisa mengaburkan isu-isu nyata hari ini seperti ketimpangan dan diskriminasi.
Pengakuan Dunia dan Warisan yang Terus Hidup
Nama Timnit Gebru kini dikenal luas di dunia internasional:
- Masuk daftar TIME100 AI (2023)
- Termasuk dalam Fortune’s 50 Greatest Leaders (2021)
- Diakui oleh Nature’s 10 dan BBC 100 Women
- Dan tetap aktif menyuarakan keadilan teknologi melalui TED Talk, jurnal ilmiah, dan komunitas global
Mengapa Kita Harus Mengenal Timnit Gebru?
Karena ia mengingatkan kita bahwa:
- AI bukan cuma tentang “seberapa canggih” teknologi kita, tapi seberapa adil dan siapa yang diuntungkan.
- Kita perlu lebih banyak suara dari perempuan, komunitas kulit hitam, dan kelompok terpinggirkan dalam pengambilan keputusan teknologi.
- Masa depan AI harus dibentuk oleh banyak suara—bukan hanya segelintir elite Silicon Valley.
“Kita tidak bisa terus membiarkan masa depan teknologi dibentuk hanya oleh satu kelompok kecil yang punya kekuasaan dan privilege.”
– Timnit Gebru
Penutup
Timnit Gebru bukan hanya ilmuwan AI—ia adalah penjaga etika di tengah arus teknologi yang kadang terlalu cepat dan membabi buta. Dengan keberanian, keahlian, dan empatinya, ia membuka jalan bagi masa depan AI yang lebih adil, inklusif, dan benar-benar memanusiakan manusia.
Kalau kamu percaya bahwa teknologi seharusnya memperkuat, bukan menindas, maka nama Timnit Gebru wajib ada dalam daftar inspirasimu.
Sering merasa overwhelmed dengan berita AI yang terlalu banyak? I hear you. Subscribe ke Artifisial Newsletter dan dapatkan informasi teknologi AI terkini agar kamu tetap up-to-date tanpa buang waktu.