Di tengah hingar-bingar perkembangan kecerdasan buatan (AI) yang makin pesat—dari chatbot pintar hingga sistem otonom yang bisa mengambil keputusan besar—ada satu sosok yang memilih untuk berpikir lebih jauh ke depan. Namanya Jess Whittlestone. Ia bukan pembuat robot, bukan juga pemilik perusahaan raksasa teknologi. Tapi perannya sangat krusial: memastikan bahwa teknologi canggih ini tetap berada di jalur yang aman, adil, dan membawa manfaat nyata untuk umat manusia.
Dari Matematika ke Dunia Etika AI
Jess mengawali perjalanannya dari dunia akademik. Ia meraih gelar dalam Matematika dan Filsafat dari University of Oxford—kombinasi yang jarang, tapi sangat berguna ketika kita bicara soal teknologi dan etika.
Tak berhenti di situ, Jess kemudian mengambil PhD di bidang Behavioral Science di University of Warwick, mempelajari bagaimana manusia membuat keputusan dan bagaimana kita sering kali terjebak dalam bias. Ini menjadi fondasi penting untuk memahami bagaimana teknologi, terutama AI, bisa memengaruhi manusia secara psikologis dan sosial.
Dari Pemerintah ke Pusat Kajian Risiko Global
Sebelum mendalami isu AI secara penuh, Jess pernah bekerja di Behavioural Insights Team, di mana ia mengembangkan kebijakan publik berbasis data dan machine learning. Tapi seiring waktu, ia merasa bahwa tantangan terbesar dari AI justru belum banyak dibicarakan—yakni risiko jangka panjang dan dampak sosialnya.
Kini, Jess menjabat sebagai Head of AI Policy di Centre for Long-Term Resilience dan juga menjadi peneliti senior di Leverhulme Centre for the Future of Intelligence dan Centre for the Study of Existential Risk, Universitas Cambridge. Di sanalah ia fokus pada pertanyaan-pertanyaan besar seperti:
- Bagaimana kalau AI berkembang terlalu cepat tanpa pengawasan?
- Bagaimana dampaknya terhadap masyarakat, demokrasi, dan distribusi kekuasaan?
- Apa yang bisa kita lakukan hari ini untuk menghindari bencana besok?
Suara Kritis dan Independen
Jess dikenal sebagai suara yang tegas tapi seimbang. Ia tidak tergoda narasi “AI akan menyelamatkan dunia” yang sering dijual oleh korporasi besar. Tapi ia juga tidak jatuh ke dalam ketakutan ekstrem yang membuat kita ingin menghentikan semua inovasi.
Sebaliknya, ia menyerukan pentingnya tindakan nyata, seperti:
- Regulasi yang jelas dan tidak hanya sukarela
- Transparansi dari perusahaan teknologi
- Pelibatan publik dalam menentukan arah perkembangan AI
Karena menurut Jess, kalau masa depan AI hanya ditentukan oleh segelintir perusahaan besar, maka masyarakat yang akan menanggung risikonya.
Dikenal Dunia, Tapi Tetap Membumi
Pada tahun 2023, nama Jess masuk ke dalam daftar TIME100 AI, daftar bergengsi yang memuat tokoh-tokoh paling berpengaruh dalam dunia kecerdasan buatan. Namun di balik penghargaan tersebut, Jess tetap sederhana.
Ia tinggal di Cambridge bersama pasangannya dan seekor anjing whippet bernama Zola. Ia menjalani hidup sebagian besar sebagai vegan, aktif dalam gerakan donasi global melalui Giving What We Can, dan tetap menyempatkan waktu untuk minum kopi (kesukaannya!).
Mengapa Kita Harus Mengenal Jess?
Karena AI bukan hanya soal teknologi—tapi juga soal siapa yang mengendalikan teknologi itu, dan untuk kepentingan siapa.
Jess Whittlestone mengajarkan kita bahwa:
- Inovasi tanpa etika bisa berbahaya.
- Perubahan besar butuh pemikiran jangka panjang.
- Dan, yang paling penting: masa depan AI tidak hanya milik para insinyur dan miliarder teknologi, tapi milik kita semua.
“Banyak kebijakan saat ini terlalu fokus pada risiko jangka panjang yang spektakuler seperti superinteligensi, tapi mengabaikan masalah nyata seperti ketimpangan dan disinformasi yang sudah terjadi hari ini.” – Jess Whittlestone
Kalau kamu tertarik mengikuti perkembangan seputar etika dan kebijakan AI, Jess Whittlestone adalah salah satu nama yang wajib kamu ikuti. Ia adalah pengingat bahwa menjadi pintar saja tidak cukup—kita juga harus bijak.
Sering merasa overwhelmed dengan berita AI yang terlalu banyak? I hear you. Subscribe ke Artifisial Newsletter dan dapatkan informasi teknologi AI terkini agar kamu tetap up-to-date tanpa buang waktu.